Sunday, March 13, 2022

Awal

Beberapa hari sebelum pemilihan.
Sore hari, di ruangan kelas 11026, selepas kelas Ibu R.

Ruangan baru saja ditinggalkan mahasiswa, hanya tersisa 4 orang: aku, NA, AK, dan Ibu R. 

Saat itu, aku sedang membereskan kursi ketika Ibu R bertanya tentang HIMA, lebih tepatnya PILKAHIM (Pemilihan Ketua Hima), kepada kami.

Ibu R bertanya siapa yang jadi penerus kepemimpinan AH dan AK sebagai ketua dan wakil ketua HIMA.

NA menjawab bahwa menurut NRD (seorang DPK, Dosen Pembina Kemahasiswaan, biasa dipanggil "Ms." N saja), saya (menunjuk kepada dirinya sendiri) dan Ayo. Dia menjelaskan, Ayo sebagai calon ketua HIMA dan saya sebagai wakilnya.

Ibu R bertanya lagi tentang apakah hanya ada satu calon tunggal ketua dan wakil ketua hima.

NA membenarkan dan mengatakan tidak ada lagi calon yang lain.

Ibu R bertanya tentang bagaimana pemilihan dilakukan jika hanya sepasang.

NA menjawab, kemungkinan aklamasi.

Beliau (Ibu R) kemudian menyarankan minimal ada 2 pasang kandidat agar seru dan dapat dilakukan pemilihan secara demokratis.

Aku sendiri hanya diam, memproses semua informasi yang bagiku baru itu. Pertama kalinya aku tahu bahwa aku akan menjadi calon ketua dipasangkan dengan NA.

Sebagai konteks, saat itu Ibu R belum lama menjabat sebagai ketua program studi, mengganti Ibu DP. 

Desas-desus mengenai siapa calon ketua hima memang sudah aku dengar sebelumnya. Beberapa orang bilang, dari pengurus HIMA sendiri, aku calon ketua hima. Aku sendiri tidak mau berandai dan tidak juga ingin memikirkan itu, karena selain memang belum pasti, aku juga disibukkan oleh persiapan kongres mahasiswa.  Saat itu, aku menjadi ketua pelaksana kongres .

Percakapan sore itu seperti mengkonfirmasi desas-desus tersebut.

Tetapi, mendengar jawaban NA membuat aku terdiam, kecewa, dan penuh pertanyaan semisal: kenapa harus dengan dia (NA)? Kenapa bukan IH yang sudah sama-sama 2 tahun di hima (saat itu memang NA baru 1 tahun menjabat), dan, terutama, kenapa NA memiliki semua jawaban atas semua pertanyaan Ibu R?

Jujur, aku keberatan. Saat itu, aku berpikir bukan saja aku tidak dekat dengannya tapi juga aku tidak mau. 

Memang, ada rasa bahagia karena aku akan menjadi ketua, tapi tidak dengan pemasangan itu.

------

Tak lama sejak perbincangan itu, mubes diselenggarakan. Seperti tahun sebelumnya (setidaknya sejak pertama kali aku masuk hima), mubes dilakukan tertutup tanpa melibatkan mahasiswa sastra inggris (SAIS).

Perkumpulan itu, jika aku boleh berkomentar, lebih tepat disebut rapat pengurus ketimbang MUBES. 

Seluruh pengurus HIMA berkumpul melingkar  di ruangan 4408. Jika berpatokan dari pintu masuk, maka posisiku berada di sisi sebelah kiri, duduk disamping AF.

Pemilihan calon kandidat ketua hima dan wakil ketua hima dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan evaluasi kinerja masing-masing divisi dan evaluasi program kerja (proker).

Saat itu, semua pengurus sudah terpapar informasi bahwa aku dipasangkan dengan NA.

Aku berpikir inilah saat yang tepat untuk menyatakan ketidaksetujuan. Aku ingin dipasangkan dengan AF. Bahkan, aku bilang ingin menjadi wakil AF. Aku merasa kami dekat, memiliki chemistry, dan bisa bekerja sama. Hal itu bukan saja karena kami memang dekat dalam pergaulan sehari-hari. Tapi, aku juga punya dasar yang cukup kuat dalam hal kerja sama: kami pernah bersama-sama dalam satu acara hima dimana aku sebagai ketua pelaksana, dan AF sebagai koordinator acara. Bisa dibilang acara tersebut sukses dengan beberapa catatan tentunya.

Usulanku ditolak, atau lebih tepatnya tidak diacuhkan. 

Pemilihan dilakukan dengan terlebih dahulu memilih pasangan calon (paslon) pertama. Metodenya, semua peserta MUBES, tidak terkecuali, menuliskan pasangan pilihannya dalam secarik kertas. 

Aku sudah dapat menebak dan benar, karena semua sudah terpapar informasi aku dipasangkan dengan NA, mayoritas suara memilih aku dan NA menjadi pasangan calon pertama. Dan telak!. Mungkin hanya aku dan beberapa orang, bisa dihitung jari, tidak memasangkanku dengan NA.

Pemilihan untuk paslon kedua dilakukan dengan metode yang sama.

Di pemilihan ini, hasil suara beragam dengan mayoritas memilih AF sebagai calon ketua hima. Dari hasil suara itu, AF dipasangkan dengan DO, SNI, dan IH sebagai calon wakil ketua HIMA. Suara terbanyak dimiliki oleh pasangan AF dan DO, kedua terbanyak pasangan AF dan SNI, dan ketiga dengan paling sedikit suara dimiliki oleh AF dan IH.

Otomatis lawanku di pemilihan kahim dan wakahim nanti adalah pasangan AF dan DO, aku pikir. Tapi, ternyata itu salah. 

DO menolak dan tidak mau menjadi calon wakil ketua hima. SNI (yang di pemilihan tahun sebelumnya juga pernah menjadi calon wakil ketua hima, pasangan MNA), ditetapkan sebagai pasangan calon wakil ketua hima dengan AF. Akhirnya, AF dipasangkan dengan SNI.

Tidak ada yang mempertanyakan. Semua pengurus seolah sepakat dengan usulan penolakan DO dan pemasangan AF dengan SNI.

Pemilu nanti mahasiswa sastra inggris akan memilih pasangan aku dan NA serta AF dan SNI.

------

Oktober 2018.

Pemilu dilakukan. Hasilnya, aku dan NA menang.

Seperti yang sebelumnya aku katakan, bahwa aku tidak dekat dengan NA, aku akan berusaha untuk menjalaninya. 

------

Malam hari. 
Bekasi, 18 November 2018

Tanggal itu adalah kali pertama aku ke rumah SNI. Kami sudah kurang lebih 5-6 bulan menjalani hubungan. Dan itu akan jadi kali pertama aku akan mengenal keluarganya. 

I felt so excited back then.
Kami mengobrol apapun agar saling kenal.

Sampai, kakaknya bilang, dia (menunjuk kepadaku) ketua hima loh bun, lawannya SNI (menggunakan panggilan khusus keluarganya untuk SNI yang tidak bisa kusebut di sini), tapi SNI kalah ya sama pasangannya, AF.

Sebagai konteks, kakaknya SNI sama-sama berkuliah di UNIKOM tapi di jurusan ilmu komunikasi. Mereka hanya terpaut 1 tahun. Artinya, saat itu kakaknya sedang berada di tahun akhir perkuliahan, jadi dia bisa tahu tentang pencalonan SNI, untuk yang ke dua kalinya.

Ibunya menjawab, oh iya, SNI mah hanya jadi ini doang.

Mendengar respon ibunya tersebut, aku bingung. Itu bukanlah respon yang aku harapkan ketika mendengarnya, semisal "oh iya, selamatnya".

Pikiranku menjadi liar dengan pertanyaan.

Kenapa ibunya bilang begitu?
Apakah selama ini ada yang aku lewatkan?
Apakah ada yang salah dengan pemilihannya?
Apa yang dimaksud "ini doang"?

Meskipun, pertanyaan itu selalu muncul meminta jawaban, aku berusaha menahannya karena saat itu bukanlah waktu yang tepat.

Beberapa hari kemudian, tak lama setelah malam itu, aku bertanya tentang respon ibunya kepada SNI.

Dia menceritakan dengan detail semua proses dan kejadian di ruangan 4408 itu:

Jadi, ketika DO menolak menjadi calon wakil ketua hima berpasangan dengan AF, AH (ketua hima yang saat itu menjabat) menuliskan nama SNI di whiteboard. SNI bertanya dengan pelan-pelan dan heran di tengah keriuhan orang.

Memang, jika berpatokan pada pintu masuk ruangan 4408, posisi SNI kala itu berada di sisi kanan, cukup tengah membelakangi whiteboard. Di samping SNI, tepat di tengah-tengah lingkaran, AH duduk membelakangi whiteboard. Maka, SNI bisa leluasa bertanya kepada AH.

SNI bertanya, kenapa dia lagi yang dicalonkan menjadi wakil ketua hima. AH menjawab, tidak apa-apa pakai SNI sebagai wakilnya, biar Ayo bisa nurunin egonya.
SNI bertanya lagi, emang kenapa si Ayo?
AH menjawab, nggak tau Ms. N.

Wow, sebegitunya kah? Sekotor itu kah?

Aku tidak menyangka, aku pikir selama ini I deserved the position, bahwa prosesnya memang murni tanpa intrik.

Maksudnya, HIMA lingkupnya kecil masa harus sampai seperti ini? (meskipun dengan organisasi yang lingkupnya lebih luas bukan berarti perilaku seperti itu dimaklumi atau dibolehkan, tapi cerita tentang pemufakatan "jahat" atau intrik biasanya terjadi atau terdengar di organisasi yang lebih besar saja. You got the point, right?).
Kenapa? 

Pun, jika memang aku memiliki "masalah" dengan egoku; egoku tinggi, egoku besar dll, apakah menjadikan SNI sebagai lawanku scientifically proven bisa "menyembuhkan" masalah itu? 

Apakah, lagi-lagi, jika egoku besar, memangnya ada peraturan bahwa "jika kandidat ketua memiliki ego yang besar maka lawannya harus orang terdekatnya atau dalam konteks ini pacar/kekasihnya"?

Lebih dasar lagi, kenapa memilih dan mencalonkanku sebagai kandidat ketua in the first place jika memang aku memiliki "masalah" dengan egoku?  Apalagi mengorbankan orang lain? 

Saat itulah, pertama kali dan terlambat mengetahui bahwa pencalonan itu adalah settingan. Dan itu sakit. Menyedihkan.

Lebih menyedihkan lagi ketika mengetahui alasan dibalik diamnya SNI. 

SNI tidak seketika bercerita kepadaku tentang peristiwa itu karena dia berpikir  semua yang terjadi di mubes itu adalah hal yang diperbolehkan dan biasa. Jadi, dia merasa tidak mengapa dirinya dikorbankan dan pencalonannya hanya dianggap pelengkap.

:(

No comments:

Post a Comment