Wednesday, November 9, 2022

2. Deg

Ibarat sebuah cerita, fase rising action dalam kepengurusan HIMA mulai muncul ke permukaan. 
Setelah aku dan NA membuat rancangan program kerja dan calon kepengurusan dengan cukup baik (sebetulnya), peristiwa yang kuprediksi terjadi.

Ada ketidaksepahaman antara aku dan dia tepat pada program kerja pertama; LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan).

Sebenarnya ketidaksepahaman adalah hal yang wajar. Tapi, cara NA menanggapinya, bagiku, adalah jalan pintas.

Saat itu, kami berdua berada di ruang HIMA untuk membicarakan tentang bagaimana format LDK akan dilaksanakan. Ada juga satu sekretaris (JFA) bersama kami.

Sebelumnya, kami sudah bersepakat bahwa ketua pelaksana LDK dijabat oleh NA. 

Dalam musyawarah itu, dia mengusung konsep yang baru, yaitu: baik pengurus dan pendaftar baru (calon pengurus) harus menjalani LDK. 
Di 3 tahun kepengurusan sebelumnya, LDK hanya dilakukan kepada calon pengurus dan mereka yang baru setahun menjadi pengurus.

Ketika ditanya alasan, menurutnya mereka yang sudah 2 tahun menjadi pengurus pun tidak memenuhi standar.

Implikasinya, panitia hanya aku, dia, dan beberapa demisioner yang dia pilih.

Mendengar penjelasannya, aku tidak setuju. Alasannya, aku takut mereka menganggap kami sudah menyamakan pengurus yang sudah dua tahun di HIMA tersebut dengan pendaftar baru. Artinya, mereka akan menganggap kami sangat superior dan merasa tidak setara. Padahal, menurutku yang perlu dilakukan adalah rasa kesamaan kedudukan sebagai panitia karena ke depan kami akan sangat membutuhkan kerja sama mereka.

Kedua, standar apa yang dijadikan patokan. Di kepengurusan sebelumnya tidak pernah ada penilaian apakah seorang pengurus sudah memenuhi standar.  Aku bahkan berpikir mungkin saja aku juga tidak sesuai standar untuk menjadi ketua hima. 

Maka, aku mangajukan bahwa orang yang sudah 2 tahun di hima jadi panitia dan yang baru setahun di hima ikut bersama mereka (calon pengurus) mengikuti LDK. Persis seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dia menyanggah. Menurutnya, jika pengurus yang sudah 2 tahun menjadi panitia, maka dia pun harus mengikuti LDK karena baru masuk kepengurusan setahun.

Aku menjawabnya dengan mengatakan bahwa posisinya exceptional karena dia adalah wakil ketua hima. 

Kami masih berdebat tentang format itu sampai dia mengucapkan satu kalimat yang membuatku terdiam. 

Dia mengatakan (jika dalam bahasa Indonesia), "Yaudah sih yo, suka-suka aku, yang jadi ketua juga aku, kamu jangan selalu menang terus".

Degg... Dia membawa posisi.

Dari situ, aku pun menjawab bahwa musyawarah atau debat itu untuk mencari ide mana yang paling efektif dan bagus. Dan ruang hima adalah tempat pertarungan ide itu dilakukan. Jadi, perdebatan itu bukan untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tapi, mencari ide mana yang lebih baik dan efektif untuk dieksekusi. 

Akhirnya aku rasa tidak ada gunanya untuk berdebat saat itu, maka aku membiarkan dia dengan idenya, sepenuhnya. 

Keputusan yang dia buat, dia mengambil 2 orang yang sudah 2 kali melakukan LDK sebagai panitia (AF dan SESG). Dan selebihnya adalah demisioner tahun lalu.

Sebetulnya, jika dipikir ulang, keputusan yang dia ambil pun tidak membatalkan bahwa dia di posisi yang exeptional.

Apakah dengan kejadian debat itu membuatku melepasnya begitu saja?
Benar, kalau aku adalah seorang bos dan keji!

Dalam prosesnya, aku melihat bagaimana dia bekerja. Progresnya cukup alot karena dia memilih berjalan sendiri. Kulihat, dia juga lebih sibuk dengan organisasi fotografinya. 

Aku tak henti-hentinya menyarankan dia untuk meminta bantuan sekretaris. Aku sendiri menawarkan bantuan, memberinya saran, dan membantunya menghubungi beberapa pihak eksternal yang akan terlibat dalam acara.

*** 

Satu hari, ketika LDK sedang berlangsung di ruang 11026, aku, NA, AF, dan salah satu alumni (yang bersedia menjadi pembawa acara) duduk di luar ruangan. Kami membahas rundown.

Dari situ, nanti aku akan tahu apa yang dirasakan AF.

Jauh setelah LDK, AF bercerita. Heran mendengarku menjawab pertanyaan alumni, RP, di luar ruangan ketika LDK tersebut.

Menurutnya, dari kacamatanya melihatku dan NA, bisa saja aku menjatuhkan NA di depan salah satu alumni tersebut.  

Aku lebih suka menjawabnya dengan "Oh iya, kami memang punya pertimbangan lain" ketika ditanya "Kenapa orang yang sudah 2 tahun di HIMA jadi peserta?".

Sunday, March 13, 2022

Awal

Beberapa hari sebelum pemilihan.
Sore hari, di ruangan kelas 11026, selepas kelas Ibu R.

Ruangan baru saja ditinggalkan mahasiswa, hanya tersisa 4 orang: aku, NA, AK, dan Ibu R. 

Saat itu, aku sedang membereskan kursi ketika Ibu R bertanya tentang HIMA, lebih tepatnya PILKAHIM (Pemilihan Ketua Hima), kepada kami.

Ibu R bertanya siapa yang jadi penerus kepemimpinan AH dan AK sebagai ketua dan wakil ketua HIMA.

NA menjawab bahwa menurut NRD (seorang DPK, Dosen Pembina Kemahasiswaan, biasa dipanggil "Ms." N saja), saya (menunjuk kepada dirinya sendiri) dan Ayo. Dia menjelaskan, Ayo sebagai calon ketua HIMA dan saya sebagai wakilnya.

Ibu R bertanya lagi tentang apakah hanya ada satu calon tunggal ketua dan wakil ketua hima.

NA membenarkan dan mengatakan tidak ada lagi calon yang lain.

Ibu R bertanya tentang bagaimana pemilihan dilakukan jika hanya sepasang.

NA menjawab, kemungkinan aklamasi.

Beliau (Ibu R) kemudian menyarankan minimal ada 2 pasang kandidat agar seru dan dapat dilakukan pemilihan secara demokratis.

Aku sendiri hanya diam, memproses semua informasi yang bagiku baru itu. Pertama kalinya aku tahu bahwa aku akan menjadi calon ketua dipasangkan dengan NA.

Sebagai konteks, saat itu Ibu R belum lama menjabat sebagai ketua program studi, mengganti Ibu DP. 

Desas-desus mengenai siapa calon ketua hima memang sudah aku dengar sebelumnya. Beberapa orang bilang, dari pengurus HIMA sendiri, aku calon ketua hima. Aku sendiri tidak mau berandai dan tidak juga ingin memikirkan itu, karena selain memang belum pasti, aku juga disibukkan oleh persiapan kongres mahasiswa.  Saat itu, aku menjadi ketua pelaksana kongres .

Percakapan sore itu seperti mengkonfirmasi desas-desus tersebut.

Tetapi, mendengar jawaban NA membuat aku terdiam, kecewa, dan penuh pertanyaan semisal: kenapa harus dengan dia (NA)? Kenapa bukan IH yang sudah sama-sama 2 tahun di hima (saat itu memang NA baru 1 tahun menjabat), dan, terutama, kenapa NA memiliki semua jawaban atas semua pertanyaan Ibu R?

Jujur, aku keberatan. Saat itu, aku berpikir bukan saja aku tidak dekat dengannya tapi juga aku tidak mau. 

Memang, ada rasa bahagia karena aku akan menjadi ketua, tapi tidak dengan pemasangan itu.

------

Tak lama sejak perbincangan itu, mubes diselenggarakan. Seperti tahun sebelumnya (setidaknya sejak pertama kali aku masuk hima), mubes dilakukan tertutup tanpa melibatkan mahasiswa sastra inggris (SAIS).

Perkumpulan itu, jika aku boleh berkomentar, lebih tepat disebut rapat pengurus ketimbang MUBES. 

Seluruh pengurus HIMA berkumpul melingkar  di ruangan 4408. Jika berpatokan dari pintu masuk, maka posisiku berada di sisi sebelah kiri, duduk disamping AF.

Pemilihan calon kandidat ketua hima dan wakil ketua hima dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan evaluasi kinerja masing-masing divisi dan evaluasi program kerja (proker).

Saat itu, semua pengurus sudah terpapar informasi bahwa aku dipasangkan dengan NA.

Aku berpikir inilah saat yang tepat untuk menyatakan ketidaksetujuan. Aku ingin dipasangkan dengan AF. Bahkan, aku bilang ingin menjadi wakil AF. Aku merasa kami dekat, memiliki chemistry, dan bisa bekerja sama. Hal itu bukan saja karena kami memang dekat dalam pergaulan sehari-hari. Tapi, aku juga punya dasar yang cukup kuat dalam hal kerja sama: kami pernah bersama-sama dalam satu acara hima dimana aku sebagai ketua pelaksana, dan AF sebagai koordinator acara. Bisa dibilang acara tersebut sukses dengan beberapa catatan tentunya.

Usulanku ditolak, atau lebih tepatnya tidak diacuhkan. 

Pemilihan dilakukan dengan terlebih dahulu memilih pasangan calon (paslon) pertama. Metodenya, semua peserta MUBES, tidak terkecuali, menuliskan pasangan pilihannya dalam secarik kertas. 

Aku sudah dapat menebak dan benar, karena semua sudah terpapar informasi aku dipasangkan dengan NA, mayoritas suara memilih aku dan NA menjadi pasangan calon pertama. Dan telak!. Mungkin hanya aku dan beberapa orang, bisa dihitung jari, tidak memasangkanku dengan NA.

Pemilihan untuk paslon kedua dilakukan dengan metode yang sama.

Di pemilihan ini, hasil suara beragam dengan mayoritas memilih AF sebagai calon ketua hima. Dari hasil suara itu, AF dipasangkan dengan DO, SNI, dan IH sebagai calon wakil ketua HIMA. Suara terbanyak dimiliki oleh pasangan AF dan DO, kedua terbanyak pasangan AF dan SNI, dan ketiga dengan paling sedikit suara dimiliki oleh AF dan IH.

Otomatis lawanku di pemilihan kahim dan wakahim nanti adalah pasangan AF dan DO, aku pikir. Tapi, ternyata itu salah. 

DO menolak dan tidak mau menjadi calon wakil ketua hima. SNI (yang di pemilihan tahun sebelumnya juga pernah menjadi calon wakil ketua hima, pasangan MNA), ditetapkan sebagai pasangan calon wakil ketua hima dengan AF. Akhirnya, AF dipasangkan dengan SNI.

Tidak ada yang mempertanyakan. Semua pengurus seolah sepakat dengan usulan penolakan DO dan pemasangan AF dengan SNI.

Pemilu nanti mahasiswa sastra inggris akan memilih pasangan aku dan NA serta AF dan SNI.

------

Oktober 2018.

Pemilu dilakukan. Hasilnya, aku dan NA menang.

Seperti yang sebelumnya aku katakan, bahwa aku tidak dekat dengan NA, aku akan berusaha untuk menjalaninya. 

------

Malam hari. 
Bekasi, 18 November 2018

Tanggal itu adalah kali pertama aku ke rumah SNI. Kami sudah kurang lebih 5-6 bulan menjalani hubungan. Dan itu akan jadi kali pertama aku akan mengenal keluarganya. 

I felt so excited back then.
Kami mengobrol apapun agar saling kenal.

Sampai, kakaknya bilang, dia (menunjuk kepadaku) ketua hima loh bun, lawannya SNI (menggunakan panggilan khusus keluarganya untuk SNI yang tidak bisa kusebut di sini), tapi SNI kalah ya sama pasangannya, AF.

Sebagai konteks, kakaknya SNI sama-sama berkuliah di UNIKOM tapi di jurusan ilmu komunikasi. Mereka hanya terpaut 1 tahun. Artinya, saat itu kakaknya sedang berada di tahun akhir perkuliahan, jadi dia bisa tahu tentang pencalonan SNI, untuk yang ke dua kalinya.

Ibunya menjawab, oh iya, SNI mah hanya jadi ini doang.

Mendengar respon ibunya tersebut, aku bingung. Itu bukanlah respon yang aku harapkan ketika mendengarnya, semisal "oh iya, selamatnya".

Pikiranku menjadi liar dengan pertanyaan.

Kenapa ibunya bilang begitu?
Apakah selama ini ada yang aku lewatkan?
Apakah ada yang salah dengan pemilihannya?
Apa yang dimaksud "ini doang"?

Meskipun, pertanyaan itu selalu muncul meminta jawaban, aku berusaha menahannya karena saat itu bukanlah waktu yang tepat.

Beberapa hari kemudian, tak lama setelah malam itu, aku bertanya tentang respon ibunya kepada SNI.

Dia menceritakan dengan detail semua proses dan kejadian di ruangan 4408 itu:

Jadi, ketika DO menolak menjadi calon wakil ketua hima berpasangan dengan AF, AH (ketua hima yang saat itu menjabat) menuliskan nama SNI di whiteboard. SNI bertanya dengan pelan-pelan dan heran di tengah keriuhan orang.

Memang, jika berpatokan pada pintu masuk ruangan 4408, posisi SNI kala itu berada di sisi kanan, cukup tengah membelakangi whiteboard. Di samping SNI, tepat di tengah-tengah lingkaran, AH duduk membelakangi whiteboard. Maka, SNI bisa leluasa bertanya kepada AH.

SNI bertanya, kenapa dia lagi yang dicalonkan menjadi wakil ketua hima. AH menjawab, tidak apa-apa pakai SNI sebagai wakilnya, biar Ayo bisa nurunin egonya.
SNI bertanya lagi, emang kenapa si Ayo?
AH menjawab, nggak tau Ms. N.

Wow, sebegitunya kah? Sekotor itu kah?

Aku tidak menyangka, aku pikir selama ini I deserved the position, bahwa prosesnya memang murni tanpa intrik.

Maksudnya, HIMA lingkupnya kecil masa harus sampai seperti ini? (meskipun dengan organisasi yang lingkupnya lebih luas bukan berarti perilaku seperti itu dimaklumi atau dibolehkan, tapi cerita tentang pemufakatan "jahat" atau intrik biasanya terjadi atau terdengar di organisasi yang lebih besar saja. You got the point, right?).
Kenapa? 

Pun, jika memang aku memiliki "masalah" dengan egoku; egoku tinggi, egoku besar dll, apakah menjadikan SNI sebagai lawanku scientifically proven bisa "menyembuhkan" masalah itu? 

Apakah, lagi-lagi, jika egoku besar, memangnya ada peraturan bahwa "jika kandidat ketua memiliki ego yang besar maka lawannya harus orang terdekatnya atau dalam konteks ini pacar/kekasihnya"?

Lebih dasar lagi, kenapa memilih dan mencalonkanku sebagai kandidat ketua in the first place jika memang aku memiliki "masalah" dengan egoku?  Apalagi mengorbankan orang lain? 

Saat itulah, pertama kali dan terlambat mengetahui bahwa pencalonan itu adalah settingan. Dan itu sakit. Menyedihkan.

Lebih menyedihkan lagi ketika mengetahui alasan dibalik diamnya SNI. 

SNI tidak seketika bercerita kepadaku tentang peristiwa itu karena dia berpikir  semua yang terjadi di mubes itu adalah hal yang diperbolehkan dan biasa. Jadi, dia merasa tidak mengapa dirinya dikorbankan dan pencalonannya hanya dianggap pelengkap.

:(

Friday, January 28, 2022

0. Nol

Karena aku tidak mempunyai fasilitas atau privilege, jika bisa dibilang begitu, untuk secara leluasa bertemu, sekedar melakukan dialog, atau membagi kisah dengan "alumni"; seperti misalnya berkumpul di dalam sebuah kafe sederhana di Bandung dengan minuman kopi atau cokelat panas dan satu sama lain saling setuju dengan apa yang sedang diperbincangkan, maka aku berpikir sepertinya perlu untuk menuliskan pendapatku tentang HIMA dalam bentuk tulisan di blog. 

Aku tidak berharap semua alumni membaca tulisan ini sebagai tujuan utamaku. Aku memiliki yang lain, beberapa diantaranya: 

1. Agar tidak ada monopoli narasi, jika ada, terhadap satu peristiwa. Jika tidak ada, anggap saja aku sedang memaparkan peristiwa dari sudut pandangku.

2. Aku rasa perlu juga untuk menyampaikan kepada kepengurusan selanjutnya, agar memiliki gambaran, mengenai kenapa suatu produk hukum, berupa peraturan dan adart, diciptakan sedemikian rupa, mengingat di kepengurusan 2018/2019 baru dicetuskan kembali ad/art.

3. Jika pun tujuan di atas tidak tercapai, aku ingin ini menjadi sebuah dokumentasi pribadi tentang secuil kejadian yang sudah aku lewati selama kurun waktu belakangan ini; ketika usia belum genap seperempat abad dan masih mengenyam pendidikan tinggi.

Dalam penulisannya, aku akan menyamarkan nama-nama yang terlibat. Juga, sebisa mungkin aku akan menyediakan bukti pendukung peristiwa atau argumenku.

Aku tidak bermaksud untuk membuat kegaduhan. 

Tentang kenapa aku baru menuliskannya sekarang, 2+ tahun setelah lulus, aku merasa aku lebih stabil dengan emosiku. Aku sudah tidak overwhelmed, meskipun terkadang masih bergetar hanya karena melihat status atau akun HIMA di instagram. Tapi, overall, im good. So let's do it.

Friday, December 31, 2021

2022

Halo.
Ini adalah hari pertama di tahun 2022. Hari ini, sabtu, 1 Januari 2022, dunia masih belum pulih. Bumi sudah melewati tahun ke-2 dirasuki virus corona. 

Edan.

Beberapa waktu lalu, varian baru, omicron, sudah menyebar ke Indonesia. Tapi aku bersyukur, manusia Indonesia sudah tidak takut divaksin. Memang, belum 100% penduduk divaksin. Tapi, aku melihat ada peningkatan. Jelas, ini pasti karena pemerintah menciptakan kebijakan: seseorang tidak boleh melakukan mobilitas jauh jika tidak divaksin. 
Dan itu cukup efektif. Selain, juga karena masyarakat sudah percaya bahwa vaksin aman. 

Memang terkesan memaksa. Tapi, saat ini belum ada alternatif lain yang lebih efektif selain vaksinasi yang bisa handling virus ini. Jadi, untuk kebijakan ini, aku seirama dengan pemerintah. 

Kebijakan wajib vaksinasi juga menciptakan inovasi baru. Kami, penduduk Indonesia wajib menggunakan aplikasi pedulilindungi. Jadi, setiap kami bepergian jauh, di banyak tempat seperti terminal, taman, stasiun, mall, dsb akan ada QR CODE untuk dipindai. Itu dilakukan agar mobilitas orang-orang dapat terekam, dan tentunya menjadi bukti seseorang telah divaksin. 

Awalnya, jelas ada semacam kontroversi. Dan aku memahami; bahwa tidak semua orang cukup mampu untuk membeli dan memiliki hp minimal android. Tapi, syukurnya sekarang sudah mereda. Bukan karena masyarakat otomatis menjadi kaya-kaya, tapi pemerintah menerima dan mengizinkan seseorang memperlihatkan kartu bukti sudah divaksin ke petugas jika ingin bepergian.

Bagiku, sebenarnya, dengan jujur, pandemi tidak begitu berpengaruh selain mengharuskanku pakai masker dan hand sanitizer. Itu karena aku jarang sekali ke luar dan berinteraksi dengan orang lain. Jadi aku merasa biasa saja. 

Tapi... Jika sekarang adalah saat yang tepat untuk memulai sesuatu, aku ingin, dimulai tahun ini, bisa berkomunikasi, bergaul, dan tidak menghindar di kumpulan orang-orang. 
Aku yakin ini berat. Dan aku juga belum tahu harus seperti apa untuk memulainya dan bagaimana strateginya. 

Tapi, ya sudah, aku lihat lagi nanti.

God bless me and you. 




Wednesday, March 3, 2021

Merekam Pandemi

Halo orang-orang 2070. Kamu sebutannya apa? Maksudnya, generasi apa? Pasti ada dong sebutan semisal millennial, gen z, dan boomer. Kalau aku antara millennial atau gen z. Seperti bimbang, tapi memang ada ikhtilat para alim tentang akhir generasi millenial dan mula-mula gen z. Jadi, jangan salahkan aku. 

Sebenarnya, aku sendiri ngga terlalu peduli karena millenial dan gen z hanya sebatas jargon bisnis, menurutku. You know, like, when the business put the word "millennial" or "gen z", it sort of association of young, energic, cool. Though, sometime the associations are negative, but it works for business.  

Eh, di tahun 2070 di Indonesia masih pakai bahasa Indonesia atau sudah Inggris semua? Soalnya, di tahun 2020 aku baru saja lulus kuliah dari sastra inggris. Dan saat ini, bahasa Indonesia masih menjadi bahasa persatuan orang-orang Indo sih. Paling hanya beberapa, dan mayoritas orang kota yang berekonomi menengah atas dan mengenyam pendidikan international school yang memakai bahasa Inggris dengan lancar. 

Jangan salah, ada, ada kok yang bukan orang kota berekonomi menengah atas yang juga lancar pakai bahasa inggris, hanya lebih jarang.

"How does it feel to graduate in the midst of pandemic?" you might ask.

Tentunya, sesuatu yang baru itu penuh kontroversi, kegundahan, dan have no clue. Contohnya wisuda.

Tidak ada wisuda menggunakan zoom di tahun-tahun sebelumnya. Bahkan zoom, aplikasi video conference, populer karena pandemi. Tapi itu realita yang harus kami hadapi. Aku sendiri sebetulnya ngga masalah dilakukan secara online karena keamanan dan kesehatan paling penting. Asal, konsekuensinya, biaya wisuda dipotong. Ya simply karena wisuda online ngga butuh biaya banyak. Tapi, namanya juga hal baru, banyak universitas yang masih mematok harga laiknya bukan pandemi. 

Banyak mahasiswa/i protes lewat sosmed. Ada yang berhasil, ada yang setengah berhasil, dan ada gagal. Di universitasku yang ke dua; setengah berhasil. Ini karena pihak universitas mengembalikan biaya hanya sedikit, tidak sampai setengahnya. Tapi, daripada tidak sama sekali, setengah sudah bagus. 

Sebetulnya, efek pandemi itu ngga hanya terasa saat wisuda saja, bahkan di proses awal skripsi pun sudah terdampak. Kami skripsi di rumah masing-masing. Proses bimbingan melalui zoom. Kalau mau acc, ya pakai tandatangan digital. Aku sendiri merasa kesulitan. Sangat. Apalagi aku dapat pembimbing dari universitas luar. Artinya, proses komunikasi jadi terkendala karena aku belum mengetahui karakter pembimbing seperti apa. Tapi untungnya dia memahami dan sangat bisa diajak kerja sama.  

Tbh, aku terseok-seok, tertekan secara mental saat itu. Aku takut aku nggak bisa lulus. Aku takut ketinggalan acc. Bahkan sering, aku akan senang jika ada teman yang memiliki kesulitan serupa dalam proses skripsi. Berarti, aku nggak sendiri dan ada teman yang bisa jadi semacam relief. Untuk mengatasinya, aku saat itu mulai -tobe continue

Sunday, January 13, 2019

Process, What really matter is

Semua orang mungkin saja sama, dalam hal tujuan.

Bisa jadi semua pelajar adalah wartawan, pada akhirnya,
atau polisi, atau guru, atau tentara, atau hanya sedang mengharap titel mahasiswa.
adakah hal yang menjadi perbedaan diantara semuanya?

Proses.

Terlalu sering kita melihat, apa yang terlihat, bukan apa yang mungkin bisa dilihat,
dan biasanya hal tersebut seringkali mendangkalkan,
sebab, menghilangkan segala hal yang sebenarnya menciptakan; proses.

kemuliaan itu ada pada proses.
karena pada akhirnya, mengambil jalan pintas tidak akan berakhir lama.

proses itu tentang waktu, dua hal yang menjadi komplemen satu sama lain.
dan sifat waktu, setahu saya, sedetik tidak bisa diminta kembali, semenit tidak bisa berhenti.

pun ketika sedang diam, kita sedang berproses yaitu berproses untuk melambatkan bahkan stagnan, sebagai hasil.
ketika sedang melamun, ketika sedang becanda, ketika sedang menatap layar gawai, ketika makan gorengan pinggir jalan, ketika diskusi dengan teman, ketika berjalan, bernafas, tertidur pulas

itu adalah proses.

kita tidak bisa mengelak, karena kongkret atau tidaknya sebuah tujuan,
terdefinisi atau tidak sebuah tujuan, bahkan ada atau tidaknya sebuah tujuan
sedetik tidak bisa diminta kembali, semenit tidak bisa berhenti
waktu terus berjalan, ia membawa erat komplemennya, proses.

orang-orang sering tergoda pada sebuah hasil, pencapaian.
itu tadi, apapun, pelajar untuk tentara, mahasiswa untuk karyawan sukses perusahaan, seorang ibu untuk kelahiran bayinya, ayah untuk keluarga sejahtera dan damainya.
padahal hasil adalah akumulasi dari proses-proses, akumulasi waktu-waktu yang dilewati seperangkat dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan.
oleh sebab itu, proses adalah penentu kemuliaan, karena ia menyertakan aktifitas di dalam waktu yang sedang berjalan.

sebuah proses, aktifitasnya lah yang menentukan kemuliaan.
memilih curang, atau sabar dalam jalan benar dan manusiawi,
dalam hasil bisa saja sama.
tapi kemuliaan, hanya mereka yang memilih sabar dalam jalan benar dan manusiawi yang memperolehnya.




Tuesday, January 1, 2019

naon si?

Beberapa menit menuju hari dan tanggal ke dua di tahun 2019. Setiap orang sudah mendeklarasikan, setidaknya ada beberapa teman, resolusinya di instagram sedang saya masih berfikir dan sedikit menyesal bahwa perubahan tidak langsung drastis nyata ada pada saya---setelah saya melewati detik pertama sampai saat ini, menit-menit menjelang hari ke dua.

Berfikir bahwa tahun ini harus lebih baik, sudah barang tentu hal yang semua orang harapkan, tidak terkecuali saya. Namun ketakutan juga tidak luput hadir dalam proses berfikirnya. Takut bahwa hal itu tidak terlaksana, takut hal itu bersandar pada sesuatu yang salah, dan takut terlalu besar. Lagi-lagi pengalaman mengatakan target atau resolusi membuat hidup tidak tenang, tidak menikmati, dan dikendalikan. Meskipun, pengalaman itu sendiri adalah guru yang paling berharga, harusnya, atau kemalasan yang terlalu dituruti sehingga menjadi pengalaman berharga.

Beberapa tersadar bahwa di tahun ini saya akan menjadi 23. Dan artinya, peran dan tanggung jawab semakin banyak. Bukan masalah perannya, karena 23 berarti "seharusnya" sudah bijak dalam menyikapi peran-peran tersebut. Sampai detik ini, saya masih tercatat sebagai seorang mahasiswa, di tahun menjelang 23. Mungkin juga karena saya sebagai seorang mahasiswa sehingga peran-peran yang lain mengikutinya seperti buntut yang mengikuti tubuh kemana dia arahkan. Karena seorang mahasiswa, saya terpilih menjadi ketua himpunan. Karena mahasiswa, saya tergabung dalam sebuah pekerjaan, dan karena mahasiswa saya harus mengikuti pembelajaran.

Ada beberapa peran yang juga penting: peran tetap sebagai seorang anak, laki-laki; peran sebagai laki-laki yang menyayangi seorang perempuan, dan peran sebagai anggota masyarakat. Yang terakhir, biarkan saya jujur, belum terlalu terasa.

Tahun 2019, peran-peran tersebut ada secara nyata di pundak, kepala, otak, kaki, sel, membran sel, sitoplasma, gen dan lain sebagainya, menuntut untuk lebih seimbang dengan porsi yang tidak maruk hanya pada satu peran. Secara teori, konsekuensi dari hal tersebut yaitu harus adanya kerelaan bahwa 2019 dengan waktu perhari tetap 24 jam dikurangi tidur, maka saya dituntut untuk membaginya.